Haiii … aku Jei, siswa SMP Kemasyarakatan Ndoso. Sekilas aku akan mengisahkan tentang langkahku dalam meraih mimpi meskipun dibelenggu pandemi virus corona.
Jarak dari sekolah ke rumahku kurang lebih 1 km. Meskipun setiap harinya aku dan teman-temanku melewati jalanan tanjak dan berliku untuk sampai ke sekolah, namun tak menyurut semangat kami untuk menuntut ilmu di sekolah. Aku menjalaninya dengan sukacita dan riang gembira. Banyak hal yang kuperoleh dari setiap langkahku menuju sekolah meskipun menyusuri aspal berbatu dan rusak parah. Aku termotivasi bahwa untuk mencapai kesuksesan, mesti melewati rintangan dan tantangan berarti.
***
Musim pun silih berganti. Musim itu pula yang mengantarku hingga sampai pada hari ini. Akhir-akhir ini, virus corona menjadi topik perbincangan di sekolah. Pandemi corona meyebabkan kepanikan bagi sekolah dan masyarakat. Televisi nasional dan berbagai sosial media ramai membicarakan pandemi ini. Guru-guru di sekolah selalu menganjurkan kami untuk selalu mematuhi protokol kesehatan.
“Selamat siang semuanya,” sahut pak Sipri sebelum memberi mandat kepada seluruh siswa menjelang pulang.
“Selamat siang juga pak,” jawab kami serempak, menyahut pak Sipri, kaur kurikulum sekolah kami.
Pak Sipri memberi pengumuman kepada para siswa. “Anak-anak saat ini negara kita sedang berada dalam masa kritis. Tadi pagi
sekolah kita mendapat surat dari dinas pendidikan setempat. Surat itu berisi: bahwa untuk mencegah penyebaran virus corona dan menjaga keselamatan kita, maka dalam waktu yang tak ditentukan kita akan menerapkan sistem belajar dari rumah (BDR). Sekolah tidak menerapkan sistem pembelajaran online diakibatkan sebagian besar wilayah kita belum terjangkau jaringan telepon dan internet. Kita juga terkendala oleh tidak tersedianya listrik serta peralatan Informasi dan Komunikasi di beberapa tempat.”
“Oleh karena itu, silahkan kalian pulang ke rumah masing-masing. Nanti ibu bapak guru akan mengunjungi kalian untuk memberikan materi dan tugas. Beberapa waktu ke depan, kalian belajar di rumah dulu. Sekian dan terima kasih, hati-hati di jalan.” Penegasan lanjut dari pak Sipri.
Aku dan teman-temanku melanjutkan perjalanan menuju rumah. Sesampainya di rumah aku menceritakan semua ke ibu dan ayah tentang apa yang telah disampaikan pak Sipri di sekolah. Ayahku kelihatannya keberatan dengan kebijakan tersebut.
“Nu, jika memang seperti itu. Siapa yang akan mengajar kamu? Bukankah ilmu itu perlu dijelaskan? Tidak cukup dengan memberi materi dan tugas saja. Apalagi ayah sama ibu setiap hari harus ke kebun, berangkat pagi pulang sore.” Ayah mengutarakan kekesalannya dengan raut wajah kesal.
“Bapak, bagaimanapun juga pemerintah dan pihak sekolah telah mempertimbangkannya dengan matang. Tentu kebijakan itu yang terbaik untuk anak kita. Apakah bapak mau anak kita keselamatannya terancam ?” Ibu membantah ayah.
“Betul apa yang disampaikan ibu, yah. Kita harus mengutamakan keselamatan nyawa.” Aku meneruskan maksud ibu.
“Ya udah, ayah tidak permasalahkan lagi nu. Asalkan kamu belajar dengan giat dan tekun ya. Nanti, jika kurang dipahami, boleh belajar sama ayah atau ibu ya. Ayah dan ibu akan selalu siap menjadi guru bagi anak semata wayang ayah ibu yang cantik.” Tegas ayah menguatkan aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar